Friday, January 13, 2012

Balada Sepatu Kuning

Nursyamsi Kurnia ‘81

Saat aku di Smandel aku punya sepasang sepatu kets berwarna kuning yang aku pakai hanya sehari ke sekolah, bukan karena malu, pokoknya ceritanya seru deh. Gara-gara si sepatu kuning aku memecahkan sebuah rekor di Smandel.

Mungkin karena cocok dengan warna seragam sekolah yang bernama krem-krem maka ibuku, orang yang paling aku cintai, membelikan sepatu baru. Tentu saja aku terkejut menerimanya, bukannya apa-apa lelaki kok pakai sepatu kuning.

Sepatuku sudah memiliki banyak kawan baru, “Kenalan dong!”, satu telapak kaki lagi mampir di sepatu. Di hari pertama si Kuning sudah mendapat tantangan, nggak tanggung-tanggung ….. naik gunung. Bayangkan semua orang di 2 IPA 8, Apadela, pada naik gunung untuk merayakan ulang tahun Pipin di puncak Pangrango. Nggak laki kalau nggak ikut.

Singkatnya si Kuning sudah sampai di puncak gunung. Masih kepagian, tidur dulu ah, supaya nyaman aku lepas si Kuning dari telapak kaki. Tidurku pulas nian, aku terbangun oleh suara alarm, “Foto … foto …”. Nggak pakai cuci muka, nyisir, langsung bapoto.

Acara dilanjutkan dengan perayaan ulang tahun dengan ayam bakar, uhhhh enak banget. Setelah puas kamipun turun gunung.

  • Ayu Dewanti Setiany Sastromidjojo ciyee bpk foto breng sama marissa haque
    ketemu dmana pak?trus foto ny dmana tuh?

    29 August 2010 at 23:18 ·

  • Nursyamsi Kurnia Utama kan hadiah ulang tahun bapak ,masa mantan pacar ngga datang hehehehehe
    30 August 2010 at 12:03 ·

  • Ayu Dewanti Setiany Sastromidjojo oia,kmren bpk ultah ya?hehe lupa mau ngucapin
    slmat ultah yg ke 50 ya pak
    smga pnjg umur,sehat slalu,mrh rizky
    smgat trus pak kapoksi
    hehehe
    ktmu dmana pak?

“Eh, elo lihat sepatu gue nggak? Sepatu gue ilang satu”, kutanyakan kepada semua orang, semuanya menjawab “Nggak”, lantas semuanya sibuk mencari.
“Syamsi, jangan-jangan sepatu elo diambil hantu”.
“Iya, juga kayaknya”.
“Sekarang elu pulang ningkring aja!”, saran kawan-kawanku. Sebuah saran yang tidak mungkin aku laksanakan.

Awalnya aku turun gunung dengan satu sepatu, akhirnya aku putuskan nyeker, jadilah aku orang Smandel pertama yang nyeker turun gunung. Hebat juga kalau dipikir.
· · · Share · 17 April 2009



    • Ady Rosdarmawan Otw Pangranggo???
      17 April 2009 at 23:28 ·

    • Ahmad Himawan Ady, banyak juga photonya, Chormen lucu, rambutnya he he he...tapi Dy yang itu , gw yakin bukan gue Dy, tapi gw juga ngk inget, siapa dia (Asing gw).

      Kalo photo yang sama Pipin kayanya si Razki ? tul nggak

      18 April 2009 at 14:38 ·

    • Ady Rosdarmawan foto atas dr ki k ka : Wilem, Omen, Beny,Arya, Gw & Nursamsi ....emang nga ada Loe...he3x...
      Yg dg Pipin & Gw Razki adiknya PerTem....

      18 April 2009 at 17:01 ·

    • Nursyamsi Kurnia Utama sob,gw juga punya foto foto dilab di sma n 8 jkt ,gw mirinding lihat foto foto di gunung gede masalhnya sepatu gw sebelah kanan hilang,padahal baru dibeliin sama enya qw yg bikin merinding gw dari atas tanpa sepatu sblh kanan coba bayangkan beta sakitnya ini kaki hahahahahah.........tapi sekarang senang mengingatnya.seperti muda lagi hehehehehe.
      22 June 2009 at 08:42 ·

    • Chormen Omen Rasanya foto di atas di Mandalawangi gunung Pangrango, difoto selepas tidur2an jadi gue nggak sempat nyisir. Waktu itu hampir sekelas naik gunung termasuk yang culun2. Apadela banget
      22 June 2009 at 09:01 ·

    • Willem Teddy Usmany Kayanya gw deh yg plg keren..Hehehehe...
      22 June 2009 at 16:52 ·

    • Fiera Basuki iiih serem, ada orang ge er masuk fesbuk!
      23 June 2009 at 18:54 ·

    • Nursyamsi Kurnia Utama heheheheheheh Fiera Basuki......Gw kembali muda lagi .........deh kalo ketemu kamu hahahahaha padahal gw udah genap usia 50 tahun
      27 September 2010 at 19:15 ·

Sampai di rumah aku mendapatkan keramah-tamahan ibu, mungkin lebih tepatnya amarah beliau.

Setiap hari aku berharap si hantu gunung mengembalikan sepatu kuningku, namun harapanku sia-sia, si hantu gunung tetap enggan mengembalikannya.

Aku nggak tahu musti bagaimana?, menjual kepada tukang loak nggak mungkin, sepatu cuma sebelah. Kalau aku pakai sekolah lebih-lebih, bisa-bisa aku dipanggil menghadap bu Hilma, ibu Kepala Sekolah, karena dikira orang gila.

Suatu senja lewat di depan rumah pengemis bertongkat karena kakinya hanya satu, aku hampiri dan berikan sebuah sepatu kuning, dicoba dan pas. Alhamdulillah.

Akhir cerita si Kuning berpindah kaki. Jika dipikir-pikir aku mendapat pahala nggak ya kalau mengamalkan sebuah sepatu, jangan-jangan pahalanya hanya separuh.

Wednesday, January 11, 2012

Permisi Tante ...


Kamu pernah nggak minjam catatan kawan?, aku pernah, yang aku ingat aku pernah meminjam catatan Iva saat di 2 IPA 8, Apadela.
“Iva, nanti gue pinjem ya catetan elo?”.
“Elo ambil aja nanti di rumah, eh gue pergi deng. Gue titipin sama ibu gue deh!”.

Berhubung aku belum tahu Tebet, makanya aku tanya kepada kawan-kawan bagaimana caranya ke rumah Iva yang dekat Balai Rakyat kalau naik Metromini. Semua kawan yang tinggal di Tebet menjelaskan dengan terinci, tapi ada satu orang yang baik banget, Alfred namanya, dia menawarkan diri.
“Men, elo mau ke rumah Iva? Gue tahu rumahnya. Sini gue anterin naik motor, daripada elo nyasar”.
“Motornya mana?”.
“Entar …, kita pinjem dulu, nah itu ada Dadit, kita pinjem motor Dadit”.

Siang itu aku diantar Alfred. Aku mendapatkan catatan Iva dari penghuni rumah seorang wanita setengah baya, ini dia ibunya Iva, kan tadi dia bilang dititipkan ke ibunya. Tapi maaf ya, ibunya Iva tampangnya kayak pembantu.

Setelah berbasa-basi sejenak Alfred menjalankan motor meninggalkan rumah Iva seraya berkata, “Permisi tante …”
“Permisi tante …”, akupun menirukan dengan penuh santun.
“Iya, hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut.”, ibu Iva menasehati, orang tua yang baik.
Bukber 81 @ Smesco met Adit, Yani, Zainal, Luci, Fida dan Alfred

Di tengah jalan aku bilang, “Fred, ibunya Iva kok kayak pembantu”.
“Iya itu ibunya Iva, emang kayak pembantu, tapi elo jangan bilang siapa-siapa, kasihan Iva”.

Aku diturunkan Alfred di rumah Tessy, “Men, elo ngobrol sama Tessy dulu, gue ke rumah temen gue dulu sebentar”. Lama aku tunggu Alfred nggak datang, akupun pulang naik Metromini, rupanya Alfred lagi asyik mendekati Tati Jepun.

Besoknya aku ditegur Jendro, “Men, tega loh! Minjem motor sampe sore, kasihan Dadit nungguin nggak pulang-pulang”. Dasar Alfred!.

Biasanya anak Apadela kalau ngumpul di rumah Fiera atau Iva, jadi aku ke rumah Iva nggak cuma sekali, pernah waktu kami ngerumpi datang seorang ibu memasuki ruang tamu dari bepergian dan Iva memperkenalkan kepada kami.
“Men, kenalin ini ibu gue”.
“Selamat siang tante”, sambil menyalami beliau.
“Siang, ayo silahkan-silahkan”, ibu Iva mempersilahkan kami melanjutkan ngerumpi, beliaupun masuk ke dalam rumah.
Bersama Tante 81, Diah, Luci, Tri, Fida dan Liza @ Pernikahan Etna & Wisnu
Aku bingung. Nggak tahan kebingungan akupun bertanya kepada Iva sambil berbisik, “Iva, itu barusan ibu elo?”.
“Iya, itu ibu gue, emang kenapa?”.
“Kok ibu elo ada dua?”.
“Satu lagi yang mana?”, Iva jadi ikut-ikutan bingung.
“Yang itu siapa?”, tanyaku sambil menunjuk seseorang
“Ya ampun Chormen! Elu tega banget! Itu mah pembantu gue!”, sambil mata kami melihat pembantu Iva tengah menyapu halaman, pembantu yang tempo lalu aku panggil tante.
Permisi tante ….

Monday, January 9, 2012

Takitri


Nah, kamu pasti ingat kan kalau Takitri itu nama majalah kita, zaman dulu dicetaknya dengan stensilan, waktu dipegang Adit ’81 mulailah itu majalah dicetak di percetakan.

Tulisanku pernah dimuat di Takitri 2 kali, itu juga gara-gara Adit, kalau bukan karena Adit kawan sekelasku di 3 IPA 4, mana mungkin tulisanku dimuat.
“Adit, gue mau bikin tulisan, dimuat dong di Takitri!”.
“Mana tulisan lo, sini gue muat”, jawabnya singkat dan Adit selalu memenuhi janjinya.

Tulisan yang dimuat di Takitri dihargai 250 rupiah, sama dengan harga majalah itu, sama dengan sepiring nasi rames bu Imron, tokoh yang aku tulis waktu itu.

Warung bu Imron letaknya kira-kira 3 rumah dari pintu gerbang ke arah kantor pajak, namun bangunan bersejarah berupa warung sudah tidak berbekas nggak lama setelah angkatan kami meninggalkan Smandel. Aku menduga setelah angkatan kami nggak ada lagi yang jajannya banyak.

Aku nggak pernah bosan makan di warung bu Imron, dengan 250 perak yang aku makan setiap hari selalu berganti-ganti, penuh variasi. Contohnya hari Senin aku makan nasi dengan sayur, tahu, tempe, dan kerupuk, Selasa makan tempe, kerupuk, nasi, tahu dan sayur, Rabu menuku sayur, tempe, tahu, kerupuk dan nasi, begitu seterusnya setiap hari nggak pernah sama, mangkanya nggak bakalan bosan.

  • Hendra Gunawan Marsilan sebelum makan, lagi makan n sesudah makan bepoto teruuussss....serasa deh
    13 December 2011 at 08:02 ·

  • Hariyanto Putra Ngga makan aja pade kenyang berfoto ria ... Hahahaa ..tau sendiri celeb2 kalau dah ketemu an ... Yakin tetep eksis ...! Mantaaab ..!
    13 December 2011 at 08:11 ·

  • Chormen Omen Akhirnya kalian akui juga kan, yang gemar foto nggak cuma aku
    13 December 2011 at 08:37 ·

  • Hendra Gunawan Marsilan setuju om Omen....eksis n narsis abis dah ....
    13 December 2011 at 08:51

  • Hariyanto Putra Ga usah makan aja kenyang ya ...men ... Yg penting narsis dulu .... Siiiiiip lah

Sekarang aku tulis ulang nih yang ada di Takitri, nggak banyak kok, cuma 5 baris.

Omen                  : Bu nasi ada?
Bu Imron             : Ada
Omen                  : Ayam ada nggak bu?
Bu Imron             : Ayam juga ada
Omen                  : Kalau gitu ayamnya diusir dong bu, nanti nasinya dimakan ayam

Wednesday, November 25, 2009

Pengemis di Padang Arafah

Dalam suatu pengajian angkatanku di rumah Tuti Rambutan, ustad Daud bertutur bahwa selama hayat kita akan ada 3 panggilan dari Yang Maha Kuasa, yaitu: panggilan pertama shalat 5 kali sehari, panggilan kedua berhaji ke tanah suci dan ketiga panggilan kematian yang tidak tahu kapan datangnya.

Aku temasuk salah satu yang beruntung dapat memenuhi panggilanNYA yang kedua pada tahun 2006, saat itu wukuf jatuhnya pada hari Jumat. Haji akbar kata kebanyakan orang.

Sebelum pelaksanan rukun haji kami melakukan tinjauan lapangan termasuk tempat wukuf di Arafah, disini terdapat bukit yang istimewa yang disebut Jabal Rahmah yang berarti bukit kasih sayang, tempat dipertemukannya Adam dan Hawa setelah 1000 tahun berpisah pasca mereka terusir dari surga. Di bukit ini pula tempat turunnya ayat terakhir Al Quran.

Di kaki bukit yang istimewa ini berkumpul pedagang asongan dan pengemis berbagai bentuk, ada yang tanpa tangan, ada yang kakinya buntung dan yang paling membuatku iba adalah pengemis buntung dari kedua pangkal paha dan pangkal lengan sehingga (maaf) mirip kepompong.

Jabal Rahmah tingginya hanya berkisar 20 meter akupun berkesempatan mencapai puncaknya, di puncak aku menghadap kiblat mendoakan keluarga dan teman-teman. Semoga saja doaku terkabulkan, amin.

Karena banyak sekali calon haji yang ingin berada di puncak aku turun untuk memberi kesempatan kepada mereka. Ada seorang ibu tua sedang duduk termenung sambil menengadahkan kedua tangan meminta belas kasihan.

Kuhampiri dan kuulurkan lembaran real ketangannya, tiba-tiba jemari tangan kanannya menutup sehingga ujung jari-jariku berada dalam genggamannya. Kami saling berpandangan karena hanya itu yang bisa kami lakukan, mungkin si ibu ingin mengucapkan terima kasih dalam bahasa Indonesia tidak bisa, aku berbahasa Arab lebih tidak bisa lagi.

Dari raut mukanya si ibu rasanya berasal dari timur tengah, kerasnya hidup terlukis diwajahnya apalagi disertai linangan air mata membasahi kedua kedua pipi.

Sesaat kemudian dilepasnya jemari tanganku, kuberikan senyuman sebelum melanjutkan menuruni Jabal Rahmah.

Dari kaki bukit kupandangi wanita tua tadi, masya Allah kini baru kusadari bahwa ibu tua itu bukanlah seorang pengemis tetapi ……. tengah khusyuk berdoa.

Sunday, July 13, 2008

1 kilo lagi

Kali ini (27 tahun lalu) saat turun gunung Gede orang yang kusapu bersama Aria adalah Pipin dan Fiera yang ditemani Agus dan Deden (semua 2 IPA 8 ‘81). Agus & Deden tanya boleh ditinggal nggak? Gue bilang “Boleh”. Sebelum lari turun mengejar teman yang lain, mereka bilang “Tadi Sulis pesen, jalannya ambil kanan abis gitu kiri”, tapi mereka nggak bilang belok kanannya udah yang belum tinggal belok kirinya.
Singkatnya begitu keluar hutan, nongolnya di kebun bawang daun, nyasar nih romannya.
Gue tanya ke petani jalan raya berapa kilometer lagi. Jawabnya singkat “1 kilo”, tergoda dengan bawang daun yang segar kamipun membeli cuma 200 perak dapetnya banyak banget, bawanya juga nggak jauh kan cuma 1 kilometer!.
Setelah berjalan cukup jauh, nanya lagi. Jawabannya sama “1 kilo lagi”, begitu seterusnya setiap orang menjawab “1 kilo lagi”.
Kayaknya sudah jalan 7 km dan kaki udah gempor, jawaban tetep “1 kilo lagi”, termasuk orang yang terakhir, padahal seratus meter kemudian kami temukan jalan raya dan timbulnya di Pasar Cipanas dari rencana turun di Cipendawa.
Kamipun naik bis (pukul 16:00), ketika lewat Cipendawa terlihat teman teman pada nongkrong di pigir jalan, kami berteriak memberi tahu bahwa kami sudah turun gunung. “Mereka udah tau” begitu kata Aria.
Padahal mereka nggak lihat, selepas magrib merekapun naik bis menuju Cililitan setelah berdiskusi hebat antara pulang atau ngeSAR.
Ada pernyataan yang membanggakan, “Mereka kan bareng Omen, masa Omen naik gunung nggak bisa turun. Mereka pasti sudah pulang, udah tidur lagi sekarang”
Dan yang ini pernyataan agak nyebelin, “Kita lihat aja besok waktu upacara, kalau mereka nggak ikut upacara artinya ........ mereka masih di gunung, ..... baru deh kita cari!”

Friday the 13th: Mesin tik Berhantu

Aku bekerja di tempat terpencil bersama Sempu ’79. Sewaktu di Jakarta (mohon maaf buat yang perempuan) melihat ceweq cantik itu biasa, karena terlalu banyaknya ceweq yang cantik yang kurang cantik bisa dibilang kayak kebo, tapi di pelosok yang terpencil ini jarang sekali ketemu ceweq dan karena begitu jarangnya ceweq sampai-sampai melihat kebo dikira ceweq. Memang begitulah ungkapan umum disana.
gang IPS 81
Cerita yang aku ungkit disini tentang teman kami, sebut saja Taufik saat itu masih berstatus calon karyawan yang berasal dari daerah, karena tugasnya belum selesai dia harus lembur sendiri di kantor, tiba-tiba terdengar suara berisik ditengah keheningan, setelah diselidiki ternyata berasal dari mesin tik yang bergerak sendiri. Dengan pucat pasih dia berlari terbirit-birit mendatangi satpam.
“Pak, ada hantu!!!!”
“Tenang pak, disini tidak ada hantu”
“Benar pak, ada mesin tik berhantu”
angkatan 83

Setelah melihat Taufik sedikit tenang, pak satpam menemaninya mendatangi lokasi yang menyeramkan tersebut.
“Itu pak mesin tik berhantunya, tadi saya lihat bergerak sendiri”
Sambil tetap menenangkan pak satpampun berkata
“Bapak tetap tenang ya, itu bukan mesin tik berhantu. Itu yang namanya .......... mesin telex”